87News.com,Tiakur – Sebagai daerah penghasil rempah-rempah, Maluku telah menarik hati bangsa asing untuk memilikinya. Portugis dan Belanda tercatat sebagai bangsa yang paling agresif untuk mendapatkan rempah-rempah dari bumi Maluku. Hal ini berdampak pada banyaknya peninggalan atau situs sejarah di Maluku, termasuk di Maluku Barat Daya.

Terletak di pesisir pantai desa Patti, berdiri kokoh bangunan sebuah gedung gereja. Namun berbeda dengan gereja pada umumnya yang memiliki nama. Gedung gereja ini sama sekali tidak memiliki nama, dan hanya disebut gedung gereja Patti.
Ruluf Paulus Latuasan, salah satu tokoh masyarakat Patti mengisahkan, gedung gereja Patty mulai pembangunanya pada tahun 1625 oleh bangsa Portugis. Bahkan eksistensi Portugis di Patti juga ditunjukan dengan berdirinya sebuah benteng, yang letaknya tak jauh dari Gereja Patti.
Dijelaskannya, perihal tahun pembangunan gedung gereja Patti ini diketahui setelah pendeta Zeth Mesakh Soukotta menemukan prasasti yang terpahat pada bumbungan gereja, yang menyatakan bahwa gedung gereja Patti di bangun pada tahun 1625 dan selesai pada bulan Juni tahun 1741. “Gedung gereja ini awalnya dibangun oleh Portugis, namun akibat kalah dalam perang Portugis harus angkat kaki dari Patti dan pembangunan gedung gereja Patti dilanjutkan oleh Belanda, “jelas Latuasan.
Menurut Latuasan, berdasarkan penuturan leluhur mereka yang disampaikan secara turun temurun, gereja Patti terbuat dari campuran batu karang yang dibakar hingga menjadi kapur, kemudian dicampur dan putih telur ayam. Ketebalan tembok gereja ini adalah 1 hasta.
Gedung Gereja Patti memiliki 12 tiang utama di dalam gereja dan juga 12 jendela. 5 jendela berada pada sisi kiri gedung gereja 5 jendela berada pada sisi kanan gedung gereja dan 2 jendela berada pada bagian belakang gedung gereja. 12 tiang utama dan jendela yang ada pada Gedung Gereja tersebut merepresentasikan 12 murid Yesus.

Hetty Letelay salah satu orang tua di negeri Patti juga menambahkan, didalam gereja Patti, tepatnya dibawah mimbar gereja terdapat makan salah satu pendeta asal Jerman yang bernama Tuan Domens, yang saat itu bertugas mengabarkan Injil di Patti.

Diceritakannya, pada tahun 1817, Yoseph Kamp memerintahkan tiga orang pendeta antara lain pendeta Timmerman dan Wicke untuk memperkenalkan Injil kepada masyarakat negeri Patti.
Jika dilihat dari tahun dibangunnya gedung gereja Patti yakni pada tahun 1625, maka gedung gereja Patti dapat dikatakan lebih tua dari gedung gereja Imanuel di Hila (dibangun tahun 1659), Gedung Gereja Eben Haezer di negeri Sila Leinitu Kecamatan Nusalaut (dibangun tahun 1715) dan Gedung Gereja tua di Banda (dibangun tahun 1873)
Dijelaskannya, penyebaran agama Kristen di Patti bermula pada tahun 1750 saat Mesakh Leiwakabessy datang ke Patti. Saat itu masyarakat Patti masih percaya kepada animisme dan dinamisme. Di Patti, Mesakh Leiwakabessy menikah dengan perempuan asal Patti yang bernama Konlaun. Dari hasil perkawinan itu keduanya dianugrahi seorang anak bernama Costansa Leiwakabessy. Saat itu Mesakh Leiwakabessy mulai memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat Patti. Namun belum menyentuh seluruh masyarakat Patti saat itu. Waktu itu Constansa Leiwakabessy lebih mimilih tinggal di Patti dari pada mengikuti kedua orang tuanya.
Pada tahun 1775, seorang penginjil Urbanus Latuasan dari Negeri Leahari datang ke Negeri Patti, yang kemudian menikah dengan Costansa Leiwakabessy dan memiliki 9 orang anak. Urbanus Latuasan dan istrinya Costansa Leiwakabessy begitu gigih memberitakan Injil di Patti. Bahkan keduanya nekat masuk hutan untuk menemui masyarakat Patti demi mewartakan Injil sekaligus mengajak mereka ke Gereja.
Kegigihan Urbanus dan Costansa ternyata membuahkan hasil besar. Seluruh warga Patti yang semula tidak memiliki agama, akhirnya mulai mengenal Yesus dan tekun beribadah hingga kini.
Di samping kanan dan kiri gereja Patti terdapat sejumlah makam, yang adalah makan para pendeta dan jemaat mula-mula di desa tersebut.

Namun sayang, situs sejarah gereja tua ini luput dari perhatian pemerintah. Bahkan boleh dibilang jauh dari sentuhan dinas terkait. Dinas Pariwisata MBD terkesan menutup mata terhadap peninggalan bersejarah tersebut. Padahal gereja tua Patti ini bisa dijadikan salah satu icon wisata religi di Kabupaten MBD. Semoga kedepannya, semua situs sejarah yang ada di bumi kalwedo ini dapat dikelola dengan lebih baik, agar dapat mendatangkan PAD bagi daerah.(**)