Oleh :
Ikhsan Tualeka
Direktur Beta Kreatif
Begini, sejak awal, sudah saya katakan, paling tidak di ‘status’ facebook, kalau besar kemungkinan ‘perang’ dan ancaman ‘sasi’ laut oleh Bapak Gubernur Maluku kepada Pemerintah Pusat, Cq Menteri Kelautan dan Perikanan, Ibu Susi Pujiastuti hanya akan menjadi sensasi ketika instrumen operasional seperti leggal standing, kajian akademik dan lainnya, termasuk prakondisi elemen masyarakat sipil tidak disiapkan lebih dahulu.
Tapi sudahlah, saya kemudian pikir pernyataan keras gubenur di media massa itu bagian dari cara dan strategi beliau untuk mengarusutamakan isu Maluku sehingga menjadi diskursus nasional, yang memang selama ini nyaris tak pernah dibahas oleh ‘Jakarta’. Dan rupanya itu efektif, selain mendapat dukungan publik yang kuat, itu terlihat di media sosial. Ibu Susi yang menjadi ‘sasaran tembak’ dari perang urat saraf itu langsung berekasi dengan mengirim utusannya.
Menjadi satu fenomena politik yang baru dalam komunikasi dan hubungan relasi pusat-daerah. Sebab komunikasi antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat yang selama ini linier dan biasanya formal itu, dimainkan atau ditarik ke ruang publik dan menyertakan opini, bahkan emosi publik. Sehingga kehadiran wakil atau utusan Menteri Susi hasilnya kemudian dinantikan, seperti reality show di televisi.
Pertemuan yang dilangsungkan tertutup itu pun terkesan menegangkan, setidaknya itu bisa ditangkap dari postingan awak media di media sosial, publik pun seperti menunggu hasil kerja para dokter bedah di meja operasi, sambil harap-harap cemas, mungkin karena ini fenomena baru, dan juga menyangkut kepentingan publik yang lebih luas, mewakili kekecewaan yang publik Maluku yang telah lama mengendap. Berlangsung 3 jam, akhirnya pertemuan usai dan dilanjutkan dengan pemberian pernyataan ke media.
Sampai di titik itu, saya pikir ‘drama politik’ sudah selesai, meski dengan hasil yang sedikit mengecewakan, namun bisa dimaklumi, mungkin itu adalah cara dan gaya setiap pejabat publik yang bisa saja beda-beda. Tapi kemudian ada salah satu jurnalis senior lewat whastaap bertanya, apakah perlu dikritik atau setidaknya ada kritik dari saya atas drama politik itu, terutama menyangkut penutup narasi dengan kata ‘hanya main-main’ itu? Saya menjawab: iya, yang kemudian saya ulas ulang dalam catatan pendek ini.
Iya, harus ada kritik publik, setidaknya agar kedepan lebih baik. Kalau mau berpendapat —bisa saja ada yang tidak sepakat—, namanya juga pendapat pribadi, menurut saya, mestinya tak begitu cara komunikasi politik kepala daerah terutama ketika sedang ‘mengadvokasi’ kepentingan dan tuntutan daerah, karena akan jadi preseden buruk, sebab bila ada lagi kritik atau ‘ancaman’ pemerintah daerah Maluku, yang padahal sungguh-sungguh atau serius terhadap pemerintah pusat, akan juga dianggap main-main, baik oleh publik, maupun oleh ‘Jakarta’.
Harusnya kalau pun ‘ancaman’ yang dilontarkan itu hanya sekadar main-main, tak perlu sampai diungkap ke publik, karena dalam politik itu memang ada yang di ‘belakang panggung’ dan ada yang tersaji di ‘depan panggung’, nah dalam konteks ini, semua hal yang ada dibelakang tak perlu ditampilkan di depan panggung, atau publik.
Sebenarnya ‘gertak sambal’ ala Gubernur Murad Ismail itu menarik dan menemukan momentumnya, karena berangkat dari fakta ketidakadilan yang dirasakan Maluku selama ini, mewakili suara-suara yang sudah lama tak terdengar, sehingga dukungan publik mengalir begitu kuat, sayangnya menjadi antiklimaks karena belum apa-apa, tekanan politik itu, yang awalnya dikira publik serius, kemudian dinyatakan main-main. Hasrat besar mendorong tuntutan dan aspirasi orang Maluku seperti terhenti mendadak. Ibarat ada yang baru ‘eraksi’, yang lain sudah ‘ejakulasi’.
Lebih mengecewakan lagi, konten atau isi tuntutan yang disampaikan terlihat (maaf) lebih mirip pernyataan mahasiswa usai unjuk rasa, hanya berisi poin-poin yang kalau dibaca dengan seksama ternyata semua isi-nya tidak terkait langsung dengan kewenangan Menteri Susi, selain poin ke-3, poin yang lain masuk dalam kewenangan Presiden, atau Mendagri dan DPR RI. Ini ibarat perang, tembakannya tak tepat sasaran, atau terkesan belum siap.
Mestinya kalau ‘gesekan politik’ yang dimainkan itu arahnya ke Menteri Susi, ya tuntutan pun harus lebih banyak diarahkan ke Kementiran Kelautan dan Perikanan, disertai dengan ulasan atau kajian akademik, juga daftar permintaan daerah yang lebih detil dan konfrehensif ke kementrian itu. Sehingga relevan antara ‘peluru’ dan objek yang ditembak.
Selain itu, kalau mau serius dan tidak hendak sekadar sensasi, kedepan sudah saatnya semua elemen Maluku, mau bersama maju dan mengusung tuntutan yang lebih subtantif, yaitu dengan menawarkan atau menuntut dan desak pemberlakuan Otonomi Khusus (OTSUS) atau perlakuan khusus di Maluku, sebagai bentuk tindakan afirmatif dalam mengangkat Maluku dari ketertinggalan, kalau itu yang dikemukakan dan menjadi tuntutan bersama, niscaya semua energi orang Maluku akan bergelora, berjuang bersama.
Tuntutan yang lebih strategis dan subtantif, setidaknya akan menjadi diskursus baru, yang sekalipun itu tidak langsung diakomodir, paling tidak akan berefek domino sehingga tuntutan lain yang ‘kadar politik’nya dibawah tuntutan OTSUS bisa langsung didengar dan diakomodir pemerintah pusat. Itu yang mestinya kedepan dipikirkan dan menjadi gerakan kolektif, jika mau serius memperjuangkan Maluku maju. Soal ini Maluku perlu studi banding ke Papua.
Sebagai penutup, maaf jika ada yang tidak sependapat atau melihat catatan ini dari perspektif ’melihat air di gelas setengah kosong (pesimis), bukan air di gelas setengah penuh (optimis)’. Ini hanya opini pribadi, menjadi masukan, bagian dari ikhtiar untuk saling menguatkan. Yang pasti salut buat Pak Gubernur Maluku, karena ‘testing the water’-nya keren, baru main-main saja ‘Jakarta’ tergopoh-gopoh, apalagi serius. Salute. Maluku Bisa